Pendahuluan
Syok merupakan suatu kegagalan sirkulasi yang
ditandai dengan tidak adekuatnya perfusi jaringan, yang secara klinis
ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik (< 80 mmHg),
perubahan status mental, oliguria dan akral yang dingin.
Syok berdasaran etiologinya dibagi dalam 4 klasifikasi yaitu :
A. Syok hipovolomik
Yaitu syok akibat menurunnya volume intravaskuler oleh karena hilangnya darah/plasma (mis:diare, perdarahan)
B. Syok cardiogenik
Yaitu syok akibat gangguan fungsi jantung (aritmia, gangguan fungsi katup, infark miokard akut dengan komplikasi)
C. Syok Obsruktif
Yaitu syok akibat adanya gangguan pengisian ke ventrikel kanan (tamponade jantung, emboli paru)
D. Syok distributive
Yaitu gangguan distribusi volume vascular
akibat perubahan resisten an permeabilitas pembuluh darah (syok
neurogenik, anafilaksis dan septic).
Syok anafilaksis
Syok anafilaksis merupakan suatu reaksi
alergi tipe yang fatal dan dapat menimbulkan “bencana”, yang dapat
terjadi dalam beberapa detik-menit, sebagai akibat reaksi antigen
antibody, pada orang-orang yang sensitive setelah pemberian obat-obat
secara parentral, pemberian serum / vaksin atau setelah digigitserangga.
Reaksi ini diperankan oleh IgE antibody
yang menyebabkan pelepasan mediator kimia dari sel mast dan sel basofil
yang beredar dalam sirkulasi berupa fistamin, SRS-A, serotonin dll.
Patofisiologi
Mekanisme umum terjadinya reaksi
anafilaksis dan anafilaktoid adalah berhubungan dengan degranulasi sel
mast dan basophil yang kemudian mengeluarkan mediator kimia yang
selanjutnya bertanggung jawab terhadap symptom. Degranulasi tersebut
dapat terjadi melalui kompleks antigen dan Ig E maupun tanpa kompleks
dengan Ig E yaitu melalui pelepasan histamine secara langsung.
Mekanisme lain adalah adanya gangguan
metabolisme asam arachidonat yang akan menghasilkan leukotrien yang
berlebihan kemudian menimbulkan keluhan yang secara klinis tidak dapat
dibedakan dengan meknisme diatas. Hal ini dapat terjadi pada penggunaan
obat-obat NSAID atau pemberian gama-globulin intramuscular.
Angka Kejadian
Angka kejadian pasti reaksi anafilaksis
tidaklah diketahui secara persis, namun beberapa studi epidemilogik
melaporkan di Ontario, Canada angka kejadian berkisar 4 kasus / 10 juta
penduduk, sementara laporan terakhir dari munich terdapat peningkatan
sekitar 9,79 kasus / 100.000 penduduk, di Indonesia kita tidak punya
data.
Adanya peningkatan kasus tersebut
disebabkan banyaknya penggunaan obat-obat baru atau terjadinya
poliparmasi dalam pemberian obat-obat kepada pasien.
Faktor yang mempengaruhi angka kejadian
Beberapa factor yang dapat mempengaruhi
kejadian adalah adanya riwayat atopi, cara pemberian (aoral atau
parentral), konstansi pemberian antigen, waktu pemberian terhadap reaksi
terakhir dan usia serta sex.
Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda reaksi anafilaksis
termasuk timbul rasa kecemasan, urtikaria, angiodema, nyeri punggung,
rasa tercekik, batuk, bronkospasme atau edema laryng.
Pada beberapa kasus, terjadi hipotensi, hilang kesadaran, dilatasi pupil, kejang hingga “sudden death”.
Syok terjadi akibat sekunder dari
hipoksia yang berat, vasodilatasi perifer atau adanya hipovolemia
relative akibat adanya ektravasasi cairan dari pembuluh darah. Namun
demikian vascular kolaps dapat terjadi tanpa didahului gejala gangguan
respirasi dan dalam hal ini kematian dapat terjadi dalam beberapa menit.
Jadi gejala syok anfilaktif adalah
gabungan gejala anafilaksis dengan adanya tanda-tanda syok yang secara
sistimatis dapat dikelompokan dengan gejala prodromal, kardiovaskuler,
pulmonal, gastrointestinal dan reaksi kulit.
Gejala prodromal pada umumnya adalah
perasaan tidak enak, lemah, gatal dihidung atau di palatum, bersin atau
rasa tidak enak didada. Gejala ini merupakan permulaan dari gejala
lainnya.
Gejala pulmoner didahului dengan
rhinitis, bersin diikuti dengan spasme bronkus dengan atau tanpa batuk
lalu berlanjut dengan sesak anoksia sampai apneu.
Gejala gastrointestinal berupa mual,
muntah, rasa kram diperut sampai diare. Sedangkan gejala pada kulit
berupa gatal-gatal, urtikaria dan angioedema.
Tanda dan Gejala-gejala anfilaksis sesuai urutan tersering :
-Urtikaria da angioedema
-Dyspnea, wheezing
-Dizzines, syncope, hipotensi
-Nause, vomitus, diarea, kramp abdominal
-Flush
-Edema saluran nafas atas
-Sakit kepala (Headache)
-Rhinitis
-Substernal pain
-Gatal-gatal seluruh tubuh
-Seizure
Diagnosa syok anafilaksis jelas dicurigai bila setelah memberikan suntikan (iv/im) timbul gejala-gejala diatas.
Penatalaksanaan
Bila kita mencurigai adanya reaksi anafilaksis segera bertindak dan jangan ditunggu-tunggu. Salah seorang penulis mengatakan “ Do not wait until it is fully developed” artinya “ segeralah bertindak”.
Apakah yang harus kita lakukan bila berhadapan dengan penderita syok anafilaksis?
A. Posisi: Segera
penderita dibaringkan pada posisi yang nyaman /comfortable dengan posisi
kaki ditinggikan (posisi trendelenberg), dengan ventilasi udara yang
baik dan jangan lupa melonggarkan pakaian.
B. Airways : Jaga jalan nafas dan berikan oksigen nasal/mask 5-10 I/menit, dan jika penderita tak bernafas disiapkan untuk intubasi.
C. Intravena access : Pasang IV line dengan cairan NacL 0,9% / Dextrose 5% 0,5-1 liter/30 menit
D. Drug: Epinefrin /
Adrenalin adalah drug of choice pada syok anafilaksis dan diberikan
sesgera mungkin jika mencurigai syok anafilaksis (TD sistolik turin <
90 MmHg). Namun harus hati-hati dengan penderita yang dalam sehari-hari
memang hipotensi.
Untuk itu perlunya dilakukan pemeriksaan TD sebelum dilakukan tindakan.
Dosis : 0,3-0,5 ml/cc Adrenalin/Epinefrin
1 : 1000 diberikan IM (untuk anak-anak dosis : 0,01 ml/KgBB/.dose
dengan maksimal 0,4 ml/dose).
Bila anafilaksis berat atau tidak respon
dengan pemberian dengan cara SK/IM pemberian Epinefrin/adrenalin dapat
langsung melalui intavena atau intratekal (bila pasien sudah dilakukan
intubasi melalui ETT) dengan dosis 1-5 ml (Epi 1 : 10.000, dengan cara
membuatnya yaitu mengencerkan epinefrin 1 ml1: 1000 dengan 10 ml NaCl).
Dapat diulang dalam 5-10 menit. Jika belum ada respons diberikan
adrenalin perdip dengan dosis ug/menit (cara membuat : 1 mg Epinefrin1:
1000 dilarutkan dalam DX5% 250 cc).
Selain pemberian Epi/Adrenalin pemberian
antihistamin ternyata cukup efektif untuk mengontrol keluhan yang
ditimbulkan pada kulit atau membantu pengobatan hipotensi yang terjadi.
Dapat diberikan antihistamin antagonist H1 yaitu Dipenhidram dengan
dosis 25-50 mg IV (untuk anak-anak 2 mg/KgBB) dan bila dikombinasikan
dengan antagonis H2 ternyata lebih superioar yaitu denagn Ranitidin
dosis 1 mg/kgbb IV atau dengan Cimetidine 4 mg/kgbb IV pemberian
dilakukan secara lambat.
Pemberian golongan kortikosteroid dapat diberikan walaupun bukan first line therapy.
Obat ini kurang mempunyai efek untuk jangka pendek, lebih berefek untuk
jangka panjang. Dapat diberikan Hidrokortison 250-500 mg IV atau metal
prednisolon50-100 mg IV.
Bila terdapat bronkospasme yang tak
respon dengan adrenalin dapat diberikan aminophylin dengan dosis 6
mg/KgBB dala 50 ml NaCL 0.9% diberikan secara Iv dalam 30 menit.
Bila penderita menunjukan tanda-tanda perbaikan hrus diobservasi minimal 6 jam atau dirujuk ke RS bila belum menujukan respons.
Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya reaksi anfilaksis, sebelum tindakan perlu dilakukan :
1.Lakukanlah anamnesa adanya riwayat
alergi terhadap obat-obatan atau adanya riwayat atopik lainnya ( seperti
riwayat asma bronkiale, eksim atau riwayat urtikaria dll.)
Adanya obat-obat yang memberi reaksi
silang perlu diwaspadai seperti sesorang yang alergi terhadap aspirin,
maka dia juga kemungkinan alergi terhadap obat-obat yang mempunyai efek
antiprostaglandin. Psien-pasien yang tidak tahan terhadap golongan
sepalosporin.
2.Jelaskan kepada penderita bila
merasakan adanya rasa yang aneh setelah dilakukan penyuntikan agar
segera memberitahu untuk dapat mengantisipasi terhadap kemungkinan
adanya reaksi anafilaksis (jangan didiamkan saja)
3.Diperlukan adanya emergency kit
diruangan tempat dilakukan tindakan yang terdiri dari obat-obat :
adrenalin/epinefrin, dipenfidramin, ranitidine tau cimetidine,
dexametason, infuse Nacl/Dx5% dan infuse set.
4.Bila kita meragukan penderita terhadap
kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis setelah tindakan observasi
selama 30 menit setelah tindakan.
5.Jangan lupa mengukur TD sebelum tindakan untuk mengetahui baseline TD sebelum tindakan.
Daftra Pustaka
1.Dunagan WC, Ridner ML (editor), Medical Emergencies in Manual Medical Theraupethics, 26 th Ed, 1989, 483-485.
2.Ho MT, Sauder CE (editor), current Emergency Diagnosis and Treatment, 3 th ed, 1990, 26-41.
3.Liberman PL, Anaphylaxis, University of Tennessee of medicine (internet), 1-16
0 komentar
Silahkan Tinggalkan komentar anda...